Kamis, 21 Oktober 2010

Sedikit catatan dari pertemuan sederhana di senja itu (Ubud Writing and Reading Festival 2010) Road show


Padang, 14 Oktober 2010
       Sore itu bertempat di XD House café, di gelar diskusi kepenulisan yang merupakan rangkaian Road Show dari UWRF 2010, meski acara molor dua jam lebih dari rencana awal diskusi tetap hangat, panitia mendatangkan pembicara dari Australia yang juga menjadi Peserta UWRF 6-10 Oktober lalu di Bali, mereka adalah Ali Eckermann dan Lionel Fogarty dua-duanya adalah warga Australia keturunan suku Aborigin. Sedangkan yang memandu acara adalah M Aan Mansyur merupakan penulis asal Makassar. Beberapa hal yang saya dapatkan dari pertemuan ini adalah kegundahan warga Aborigin yang dipaksa oleh pemerintah Australia untuk meninggalkan Budaya dan agama mereka telah melahirkan beberapa penulis Australia Aborigin yang merepresentasikan apa yang mereka rasakan, setelah bertahun-tahun berjuang dengan hard diplomasi ternyata perjuangan mereka untuk bebas dari penindasan budaya dan agama oleh pemerintah Australia tersalurkan lewat berbagai tulisan seperti prosa dan puisi. Hal inilah yang membuat suku aborigin berkeinginan terus berkarya hingga sampai pada tujuan utama mereka memperoleh kemerdekaan menjalankan agama asli mereka dan budaya.
            Catatan lain yang saya rasa perlu kita renungi bersama adalah, keinginan kita masyarakat Sumatera Barat yang masih kurang peduli dengan dunia menulis apalagi membaca, tidak salah kalau Taufik Ismail beberapa waktu lalu ketika penulis mengikuti seminar, beliau mengatakan bahwa Indonesia tidak terkecuali sumatera Barat, pelajar dan mahasiswanya masih lumpuh menulis dan rabun membaca, padahal kita sebagai masyarakat yang berfilosofi “alam takambang jadi guru”merupakan potensi besar untuk meningkatkan kekayaan menulis. Hal ini menambah rasa malu saya ketika M. Aan Mansyur membuka sesi tanya jawab mengatakan bahwa orang Sumatera Barat harus bersukur, karena banyak bahasa Ibu (Bahasa Minang) yang telah di bakukan menjadi Bahasa Indonesia, dia berfilosofi: kesehariannya diisi oleh bercakap-cakap bahasa Minangkabau, dalam artian bahwa kesehariannya menulis sering menggunakan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Minang., dan belum pernah ditemuinya bahasa Bugis (makasar) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lanjutnya, yang menambah kegalauanku. Sekarang mampukah kita mengisi kepercayaan yang telah diamanatkan kepada kita, dan akankah lahir kembali penyair-penyair handal dari Sumatera Barat. Wallahualam Bhissawab

Foto-foto terkait: 
                                                                      Suasana Workshop
       Dari kiri kekanan : Zarman, M. Aan Mansyur, Ali Eckerman, Lionel Fogarty dan Penerjemah
Peserta Workshop
Buku karya peserta UWRF 2010 (dari Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar